Kamis, 03 April 2008


Video Komunitas ORANG RIMBO
Cerita Tentang Mijak
Kategori: Referensi Video Komunitas (307 kali dibaca)
Cerita Tentang Mijak
Teks: Ariani Djalal/Program Manajer RAGAM

Mijak, pemuda asli suku Anak Dalam atau Orang Rimbo. Pendidikan terakhir di Sokola, Sekolah Anak Rimba Bukit Duabelas. Sosoknya penuh humor. Sangat suka menyanyi, nada suaranya rendah dangan tempo lambat, mirip tangisan atau lolongan. Artikulasi suara tidak jelas antara bahasa rimba dan jawa. Bahasa Jawa nampaknya memberi pengaruh padanya, lewat penduduk transmigran yang sering keluar masuk hutan. Sebagai bujang usia 20 tahunan, Mijak masih diperbolehkan oleh adat untuk berkelana keluar masuk hutan. Masa bujang merupakan masa terbaik untuk laki-laki rimba belajar apapun yang bisa dipelajari untuk menjaga adat rimba. Termasuk video. Pertama mengikuti pelatihan video di Bali pada bulan Juni 2006. Ini pertama kalinya, Mijak pergi jauh ke luar rimba. Hatinya girang, saat naik pesawat. Matanya melongok mencari “Tuhan” yang diyakini orang rimba ada di langit.

Sekitar bulan Juli 2006, bisa jadi merupakan momentum terbesar dalam sejarah suku rimba. Mijak membawa kamera pinjaman untuk mengabadikan acara pertemuan di balai desa pertemuan yang dihadiri oleh pejabat BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) dan kepala desa Pematang Kabau, beberapa staf kecamatan Air Hitam dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat setempat. Langkahnya ragu, sedikit takut ketika mengambil gambar acara pertemuan tersebut. Sial baginya, Mijak di usir dan dilarang mengambil gambar oleh salah seorang petugas kecamatan. Mijak berusaha mendapatkan haknya, tapi tetap saja Mijak terusir.

Tanggal 27 Juni 2007, hari bersejarah bagi Mijak dan Orang Rimba. Penuh percaya diri. Mijak berpakaian lengkap, menenteng tas besar dan tripod. Berboncengan sepeda motor win menuju Balai Pertemuan di Bendungan Desa Bukit Suban kecamatan Air Hitam Sarolangun. Bangunan balai pertemuan terbuat dari kayu, model rumah panggung sudah dipenuhi tamu-tamu undangan. Bagian bawah rumah panggung terisi beberapa kendaraan bermotor dan tamu-tamu yang tidak dapat tempat di ruang balai. Mijak, menaruh sepeda motornya, membuka sepatu dan mempersiapkan peralatan kamera, tape dan tripod. Beberapa orang mengawasi gerak-gerik Mijak. Pandangan yang heran dan takjub tidak dapat disembunyikan oleh tetua-tetua kampung orang rimba. Terlihat ada tanda tanya besar, apa yang akan dilakukan Mijak?

Kamera mini divi terpasang dengan baik di tripod tangannya. Agak ragu, ketika Mijak harus melangkahi tetua-tetua adat yang duduk bersila di lantai balai. Di dalam balai, telah hadir pula para pejabat-pejabat Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, Waldemar Hasiholan, Kepala seksi Polisi Hutan dan beberapa lembaga swadaya masyarakat setempat.
Matanya menoleh, ke gurunya seolah minta persetujuan. Sesaat kemudian, langkahnya mantap maju menerobos tempat duduk para tetua adat dan mencari posisi strategis untuk mengambil gambar. Pertemuan penting tersebut memakan waktu cukup lama sekitar tiga jam lebih untuk membentuk tim penentu zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas.

Beberapa saat kemudian, salah seorang guru besar Sokola membuka pembicaraan. Seharusnya bukan dia yang harus bicara. Guru itu, meminta diberikan waktu untuk memutar video yang sudah dibuat oleh mantan-mantan murid Sokola yang tergabung dalam KMB/Komunitas Makekal Bersatu. Video yang berjudul Rimba Rumah Kami. Video tersebut diputar dibalai pertemuan dengan menggunakan empat laptop. Speaker lirih laptop kemudian didekatkan di mic clip on milik panitia. Volume yang sedikit keras, cukup membantu penonton yang tidak bisa melihat layar laptop. Berpuluh-puluh pasang mata takjub menonton video yang berdurasi tujuh menit. Video selesai diputar, tiba-tiba Mijak berbicara dengan bahasa Rimba semacam presentasi dan menerangkan kembali video itu. Tetua-tetua adat itu mengangguk-angguk sambil berucap, “aok…aok…aok”
Wajah Mijak terlihat lebih santai dan rileks. Rasa percaya dirinya bertambah, walaupun masih terlihat agak repot ketika harus mengganti kasetnya yang telah penuh.

Seusai acara pertemuan, Mijak segera keluar ruang pertemuan dan melakukan wawancara dengan beberapa tetua adat; tumenggung kepala adat Maritua, kepala adat Ngandun Tua mengenai apa yang menjadi harapan dari sistem zonasi Taman Nasional Bukit Nasional Duabelas, bagaimana pendapatnya tentang pertemuan tersebut dan pendapat tentang video yang telah dibuatnya.

”Cita-citaku berhasil untuk mendokumentasi dan bermain dengan dunia film. Bahwa kita orang rimba bisa serius dan bekerja melalui film, dan tidak ada rasa takut lagi ketika harus mengambil gambar” katanya sambil tersenyum bahagia.

Kepolosan Mijak masih nampak. Dulu menggunakan cowot (selembar kain, yang menutup alat vital). Sekarang berpakaian lengkap ala orang terang (sebutan untuk orang-orang di luar rimba karena terkena sinar matahari langsung) dan sering menenteng kamera mini dv kecil dan tripod. Mijak, kini ingin menjadi filmmaker.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda