Anak Rimba Menenteng Kamera
9 Juli 2007 - 16:0 WIB
Dia anak rimba. Dia ingin mendokumentasi semua yang terjadi di hutan. Dan dia belajar membuat film. Dia, Si Mijak.
Mijak pemuda asli suku Anak Dalam atau Orang Rimbo. Pendidikan terakhirnya di Sokola, Sekolah Anak Rimba Bukit Duabelas. Sosoknya penuh humor. Dia suka sekali menyanyi. Nada suaranya rendah dengan tempo lambat, mirip tangisan atau lolongan. Artikulasi suaranya tidak jelas antara bahasa rimba dan bahasa Jawa.
Bahasa Jawa tampaknya memberikan pengaruh padanya, lewat penduduk transmigran yang sering keluar masuk hutan. Sebagai bujang usia 20 tahunan, Mijak masih diperbolehkan oleh adat untuk berkelana keluar masuk hutan. Masa bujang merupakan masa terbaik untuk laki-laki rimba belajar apa pun untuk menjaga adat rimba. Termasuk bersentuhan dengan dunia modern: belajar menggunakan teknologi video.
Mijak mengikuti pelatihan video di Bali pada Juni 2006. Ini kali pertama dia pergi jauh keluar rimba. Hatinya girang saat naik pesawat. Matanya melongok keluar jendela pesawat, mencari-cari "Tuhan" yang diyakini orang rimba ada di langit.
Akhir Juli 2006 bisa jadi merupakan momentum terbesar dalam sejarah suku rimba. Mijak membawa kamera pinjaman untuk mengabadikan acara pertemuan di balai desa. Pertemuan itu dihadiri pejabat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Kepala Desa Pematang Kabau, staf Kecamatan Air Hitam, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat setempat. Langkahnya ragu, sedikit takut ketika mengambil gambar acara pertemuan tersebut. Sialnya lagi, Mijak diusir dan dilarang mengambil gambar oleh salah seorang petugas kecamatan. Mijak berusaha mendapatkan haknya, tapi tetap saja terusir.
"Kita orang rimba bisa serius dan
bekerja melalui film, dan tidak ada rasa
takut lagi ketika harus mengambil
gambar."
(Mijak)
Tanggal 27 Juni 2007 merupakan hari bersejarah bagi Mijak dan Orang Rimba. Penuh percaya diri, Mijak berpakaian lengkap, menenteng tas besar dan tripod. Berboncengan sepeda motor Honda Win dia menuju Balai Pertemuan di Bendungan Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam Sarolangun. Bangunan balai pertemuan terbuat dari kayu model rumah panggung itu sudah dipenuhi tamu undangan. Bagian bawah rumah panggung disesaki beberapa kendaraan bermotor dan tamu-tamu yang tidak kebagian tempat di ruang balai. Mijak menaruh sepeda motornya. Dia bergegas membuka sepatu dan mempersiapkan peralatan kamera, tape, dan tripod. Beberapa orang mengawasi gerak-gerik pemuda ini. Para tetua kampung Orang Rimba tak bisa menyembunyian pandangan heran dan takjub. Di kepala mereka berkelebat tanda tanya besar: apa yang akan dilakukan pemuda Rimbo ini?
Kamera mini-dv terpasang dengan baik di tripod di tangan Mijak. Agak ragu Mijak harus melangkahi para tetua adat yang duduk bersila di lantai. Di dalam balai telah hadir pula pejabat Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, Waldemar Hasiholan, Kepala Seksi Polisi Hutan, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat.
Mijak menoleh ke gurunya, meminta persetujuan lewat matanya. Sesaat kemudian langkahnya mantap maju ke tempat duduk para tetua adat dan mencari posisi strategis untuk mengambil gambar. Pertemuan penting tersebut memakan waktu cukup lama. Sekitar tiga jam lebih untuk membentuk tim penentu zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas.
Beberapa saat kemudian salah seorang guru besar Sokola membuka pembicaraan. Seharusnya bukan dia yang bicara. Guru itu meminta diberikan waktu untuk memutar video yang sudah dibuat para mantan murid Sokola yang tergabung dalam Komunitas Makekal Bersatu (KMB). Video berjudul Rimba Rumah Kami. Video tersebut diputar dibalai pertemuan menggunakan empat laptop. Suara lirih speaker laptop kemudian didekatkan di mic clip on milik panitia. Volume yang sedikit keras cukup membantu penonton yang tidak bisa melihat layar laptop. Berpuluh-puluh pasang mata takjub menonton video berdurasi tujuh menit itu.
Selesai pemutaran Video, tiba-tiba Mijak berbicara dengan bahasa Rimba, semacam presentasi dan menerangkan kembali video itu. Para tetua adat mengangguk-angguk sambil berucap, "Aok... aok... aok." Wajah Mijak terlihat lebih santai dan rileks. Rasa percaya dirinya bertambah, walaupun masih terlihat agak repot ketika harus mengganti kasetnya yang telah penuh.
Seusai acara pertemuan, Mijak segera keluar ruang dan mewawancarai beberapa tetua adat, antara lain tumenggung kepala adat Maritua dan kepala adat Ngandun Tua. Mijak menanyakan harapan mereka dari sistem zonasi Taman Nasional Bukit Nasional Duabelas. Juga minta tanggapan tentang pertemuan tersebut. Tak lupa dia meminta pendapat tentang video karyanya.
"Cita-citaku berhasil untuk mendokumentasi dan bermain dengan dunia film. Bahwa kita orang rimba bisa serius dan bekerja melalui film, dan tidak ada rasa takut lagi ketika harus mengambil gambar," katanya sambil tersenyum bangga dan bahagia.
Kepolosan Mijak masih tampak. Dulu dia mengenakan cowot (selembar kain untuk menutup alat vital). Sekarang berpakaian lengkap ala orang terang (sebutan untuk orang-orang di luar rimba karena terkena sinar matahari langsung) dan sering menenteng kamera mini-dv kecil dan tripod. Mijak kini ingin menjadi filmmaker. (E4)
- Ariani Djalal, pekerja film, tinggal di Jakarta.
- Foto-foto oleh Ariani Djalal: (1) Mijak (atas), (2) "Merdeka" teriak anak-anak Rimbo.
9 Juli 2007 - 16:0 WIB
Ariani Djalal
Dia anak rimba. Dia ingin mendokumentasi semua yang terjadi di hutan. Dan dia belajar membuat film. Dia, Si Mijak.
Mijak pemuda asli suku Anak Dalam atau Orang Rimbo. Pendidikan terakhirnya di Sokola, Sekolah Anak Rimba Bukit Duabelas. Sosoknya penuh humor. Dia suka sekali menyanyi. Nada suaranya rendah dengan tempo lambat, mirip tangisan atau lolongan. Artikulasi suaranya tidak jelas antara bahasa rimba dan bahasa Jawa.
Bahasa Jawa tampaknya memberikan pengaruh padanya, lewat penduduk transmigran yang sering keluar masuk hutan. Sebagai bujang usia 20 tahunan, Mijak masih diperbolehkan oleh adat untuk berkelana keluar masuk hutan. Masa bujang merupakan masa terbaik untuk laki-laki rimba belajar apa pun untuk menjaga adat rimba. Termasuk bersentuhan dengan dunia modern: belajar menggunakan teknologi video.
Mijak mengikuti pelatihan video di Bali pada Juni 2006. Ini kali pertama dia pergi jauh keluar rimba. Hatinya girang saat naik pesawat. Matanya melongok keluar jendela pesawat, mencari-cari "Tuhan" yang diyakini orang rimba ada di langit.
Akhir Juli 2006 bisa jadi merupakan momentum terbesar dalam sejarah suku rimba. Mijak membawa kamera pinjaman untuk mengabadikan acara pertemuan di balai desa. Pertemuan itu dihadiri pejabat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Kepala Desa Pematang Kabau, staf Kecamatan Air Hitam, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat setempat. Langkahnya ragu, sedikit takut ketika mengambil gambar acara pertemuan tersebut. Sialnya lagi, Mijak diusir dan dilarang mengambil gambar oleh salah seorang petugas kecamatan. Mijak berusaha mendapatkan haknya, tapi tetap saja terusir.
"Kita orang rimba bisa serius dan
bekerja melalui film, dan tidak ada rasa
takut lagi ketika harus mengambil
gambar."
(Mijak)
Tanggal 27 Juni 2007 merupakan hari bersejarah bagi Mijak dan Orang Rimba. Penuh percaya diri, Mijak berpakaian lengkap, menenteng tas besar dan tripod. Berboncengan sepeda motor Honda Win dia menuju Balai Pertemuan di Bendungan Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam Sarolangun. Bangunan balai pertemuan terbuat dari kayu model rumah panggung itu sudah dipenuhi tamu undangan. Bagian bawah rumah panggung disesaki beberapa kendaraan bermotor dan tamu-tamu yang tidak kebagian tempat di ruang balai. Mijak menaruh sepeda motornya. Dia bergegas membuka sepatu dan mempersiapkan peralatan kamera, tape, dan tripod. Beberapa orang mengawasi gerak-gerik pemuda ini. Para tetua kampung Orang Rimba tak bisa menyembunyian pandangan heran dan takjub. Di kepala mereka berkelebat tanda tanya besar: apa yang akan dilakukan pemuda Rimbo ini?
Kamera mini-dv terpasang dengan baik di tripod di tangan Mijak. Agak ragu Mijak harus melangkahi para tetua adat yang duduk bersila di lantai. Di dalam balai telah hadir pula pejabat Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, Waldemar Hasiholan, Kepala Seksi Polisi Hutan, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat.
Mijak menoleh ke gurunya, meminta persetujuan lewat matanya. Sesaat kemudian langkahnya mantap maju ke tempat duduk para tetua adat dan mencari posisi strategis untuk mengambil gambar. Pertemuan penting tersebut memakan waktu cukup lama. Sekitar tiga jam lebih untuk membentuk tim penentu zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas.
Beberapa saat kemudian salah seorang guru besar Sokola membuka pembicaraan. Seharusnya bukan dia yang bicara. Guru itu meminta diberikan waktu untuk memutar video yang sudah dibuat para mantan murid Sokola yang tergabung dalam Komunitas Makekal Bersatu (KMB). Video berjudul Rimba Rumah Kami. Video tersebut diputar dibalai pertemuan menggunakan empat laptop. Suara lirih speaker laptop kemudian didekatkan di mic clip on milik panitia. Volume yang sedikit keras cukup membantu penonton yang tidak bisa melihat layar laptop. Berpuluh-puluh pasang mata takjub menonton video berdurasi tujuh menit itu.
Selesai pemutaran Video, tiba-tiba Mijak berbicara dengan bahasa Rimba, semacam presentasi dan menerangkan kembali video itu. Para tetua adat mengangguk-angguk sambil berucap, "Aok... aok... aok." Wajah Mijak terlihat lebih santai dan rileks. Rasa percaya dirinya bertambah, walaupun masih terlihat agak repot ketika harus mengganti kasetnya yang telah penuh.
Seusai acara pertemuan, Mijak segera keluar ruang dan mewawancarai beberapa tetua adat, antara lain tumenggung kepala adat Maritua dan kepala adat Ngandun Tua. Mijak menanyakan harapan mereka dari sistem zonasi Taman Nasional Bukit Nasional Duabelas. Juga minta tanggapan tentang pertemuan tersebut. Tak lupa dia meminta pendapat tentang video karyanya.
"Cita-citaku berhasil untuk mendokumentasi dan bermain dengan dunia film. Bahwa kita orang rimba bisa serius dan bekerja melalui film, dan tidak ada rasa takut lagi ketika harus mengambil gambar," katanya sambil tersenyum bangga dan bahagia.
Kepolosan Mijak masih tampak. Dulu dia mengenakan cowot (selembar kain untuk menutup alat vital). Sekarang berpakaian lengkap ala orang terang (sebutan untuk orang-orang di luar rimba karena terkena sinar matahari langsung) dan sering menenteng kamera mini-dv kecil dan tripod. Mijak kini ingin menjadi filmmaker. (E4)
- Ariani Djalal, pekerja film, tinggal di Jakarta.
- Foto-foto oleh Ariani Djalal: (1) Mijak (atas), (2) "Merdeka" teriak anak-anak Rimbo.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda